Sudah jamak memang kita sering mendengarkan kata autis yang dijadikan guyonan atau cara untuk menyindir orang-orang disekitar kita yang terlalu sibuk dengan gadget dan dunianya sendiri. Bahkan saking seringnya pun kata-kata itu sudah dianggap lumrah dan mungkin bagi sebagian orang bukan lagi hal yang dianggap menyakitkan bagi orang yang menerima sindiran tersebut. Kalau saja ada yang tersinggung atas kata-kata itu, maka tak jarang juga ia akan mendapatkan sindiran balik kalau ia bukan orang yang bisa diajak bercanda atau ga gaul!!! Ehhh.. entahlah apa memang bahasa-bahasa gaul seperti itu adanya.. Hemmm.. sulit memang jika kita sudah berhadapan dengan opini publik yang terkadang sering merancukan sebuah kebenaran. Permasalahannya kemudian seperti yang kita ketahui bahwa bahasa-bahasa gaul itu bersifat sporadis dikalangan masyarakat belakangan ini!! Hehhh.. siapa yang tahu kelak anda dan saya sama sekali tidak tahu tentang arti sebenarnya dari kata autis itu??
Nah, kalau saja dalam bercanda dengan teman, kita memiliki etika yang tidak pernah tertulis seperti bercanda jangan SARA, sebaiknya juga tidak menjurus kepada pornografi atau fisik lah maka sebaiknya dalam bercandapun ada baiknya kita menambahkan satu etika lagi yaitu tidak perlu menggunakan konsep-konsep gangguan kejiwaan atau malfungsi dari sistem saraf. Seperti berita yang beberapa hari terakhir yang cukup sering saya baca dimana Mamah dedeh, seorang Ustadzah yang cukup terkenal, yang mungkin secara tidak sengaja (atau mungkin karena sudah terbiasa dengan candaan seperti ini) menggunakan kata-kata autis untuk menyebutkan mereka-mereka yang maniak gadget sehingga sering tidak terusik dengan lingkungan sekitarnya. Kebetulan saja beliau adalah orang yang terkenal sehingga ketika kesalahan datang dari padanya orang dapat segera mengkoreksi kesalahannya. Namun yang terjadi sesungguhnya dimasyarakat hal-hal semacam ini semakin lumrah dan seperti yang saya katakan sebelumnya, banyak juga yang tidak merasa bersalah akan hal itu. Bukan hanya autis saja, kadang-kadang tanpa sengaja kita melabeli seseorang dengan label gila, frustasi, anti sosial dan masih banyak lagi bahkan tidak jarang juga kami, mahasiswa psikologi, masih sering melakukan hal-hal semacam ini. Ironis memang, mengingat seharusnya kami berada dibarisan terdepan untuk mengedukasi masyarakat atau sekedar orang-orang terdekat agar mengetahui benar tentang konsep-konsep itu.
Mungkin sebenarnya sudah banyak yang tahu tentang apa itu autis dalam arti yang sebenarnya. Autis adalah sebuah gangguan neurobiologi atau sistem saraf yang berat yang terjadi pada anak sehingga menimbulkan permasalahan pada anak dalam melakukan komunikasi serta menjalin relasi dua arah, hal itu akan memberikan pengaruh yang serius dalam pola perilaku sang anak. Biasanya gangguan ini dapat dideteksi diusia 3 tahun, namun pada beberapa kasus seperti pada kasus anak yang menderita autis infantil, autisme dapat dideteksi sejak bayi. Memiliki anak yang berbeda, bukanlah hal yang mudah tentunya, terlebih lingkungan sosial masih belum dapat bersikap ramah terhadap keistimewaan itu. Saya mungkin dapat membayangkan apa saja yang dirasakan serta menjadi bahan pergumulan orang tua dengan anak autis tersebut. Beban tanggung jawab mereka jauh lebih berat bila dibandingkan dengan orang tua lainnya yang memiliki anak normal. Bukan hanya soal materi, namun juga tentang waktu, perhatian dan wawasan yang harus senantiasa di upgrade demi membantu sang anak mandiri bahkan berjuang menghadapi realita sosialnya yang mungkin masih menatap jijik terhadap apa yang dialami buah hatinya. Belum lagi saat ini masih belum banyak pendidikan yang tersedia bagi anak autis, bila ada kadang berada didaerah yang cukup jauh dari tempat mereka berada bahkan biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan tersebut tidaklah murah. Bayangkan saja, jika apa yang tengah mereka perjuangkan hingga mati-matian, iya saya tidak lebay untuk mengatakan ini sebagai perjuangan mati-matian, menjadi bahan lelucon bagi orang-orang diluar sana? Ahhh.. kali ini saya sungguh sudah tidak dapat membayangkan hal itu! dan tahukah anda bahwa ternyata ada penelitian yang mengungkapkan bahwa tingkat stress ibu yang memiliki anak autis sama dengan tentara yang sedang berperang. Apa yang dirasakan oleh orang tua pastinya tidak akan seberapa apabila kita bandingkan dengan apa yang dirasakan sianak yang menderita autis tersebut. Ya,, seiring bertambah dewasanya anak, tidak sedikit dari mereka yang mengetahui bahwa mereka berbeda dengan anak-anak disekitar rumahnya atau keluarganya. tidak jarang juga mereka bahkan mendapatkan bully-an dari anak-anak sekitarnya. Kali ini saya membayangkan mereka sebagai seorang yang jatuh dan tertimpa tangga dalam waktu yang bersamaan terlebih lagi jika anak-anak tersebut belum mampu berdamai dengan keistimewaan mereka. Heyyyy... lalu masih mampukah kita untuk menenggelamkan kepercayaan diri anak-anak autis (dan orang tua-juga keluarganya-dalam mendidik anak autis) untuk bangkit menjadi anak yang mandiri dan diterima oleh lingkungannya dengan menggunakan kata autis sebagai bahan olokan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar