Saya sering senyum-senyum sendiri ketika mengingat alasan saya dalam memilih jurusan psikologi saat masuk perguruan tinggi dulu (sekali). Saya bener-bener tidak punya alasan yang benar untuk menjadi mahasiswa psikologi. Betapa tidak, alasan saya yang terkuat saat itu disamping menghindari pelajaran-pelajaran eksakta yang sukses membuat pusing siang malam (setelah saya belajar psikologi ternyata oh ternyata pelajaran-pelajaran seperti ini malah bolak-balik muncul hampir disemua mata kuliah!!! #nangiskejer) ialah karena saya merasa yakin bahwa saya adalah seorang pendengar yang baik. ihhh kok pede banget sih?? iyaa dong... hahahaa.. Sebenarnya kalau boleh mengkambing hitamkan, keyakinan sesat itu karena "ulah" sahabat-sahabat saya ketika masa-masa sekolah dulu (dan semakin diperparah oleh sikap gampang "ge-er" saya memang sudah dalam taraf akut). Mereka sering mengatakan saya adalah orang yang asyik untuk diajak curhat. Belakangan saya mulai berfikir, mungkin saja alasan mereka gak sengaja mengatakan itu karena saat itu mereka memang kepepet dan butuh seseorang yang bisa dijadikan tong sampah tempat berbagi.
Ketika kuliah dan menjadi seorang anak kost yang jauh dari rumah serta merta membuat saya memiliki hubungan yang lebih intens dengan teman-teman baru saya baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Kebiasaan dicurhatin pun menurut saya semakin menjadi-jadi karena saya memang banyak waktu luang untuk mendengarkan mereka ditambah besarnya "ego" saya saat itu yang baru saja menjadi mahasiswi psikologi yang masih gagal paham tentang psikologi itu sendiri. Lambat laun, usia saya dan teman-teman saya semakin dewasa dan permasalahan-permasalahan yang kami milikipun bertambah kompleks membuat saya sadar bahwa saya ternyata BUKAN teman yang asyik untuk dicurhatin!! Eeehhh.. tapi bukan berarti juga saya lantas menolak mereka bercerita ketika mereka datang dengan permasalahan mereka kepada saya karena saya juga masih punya perasaan dan tahu pasti bagaimana sakitnya mengalami penolakan lebih-lebih ditolak untuk bicara. Lalu kenapa malah setelah jadi anak psikologi membuat saya semakin malas dicurhatin dan tidak yakin bahwa saya adalah seorang pendengar yang baik? Kayak yang saya bilang tadi, kehidupan saya dan teman-teman saya semakin kompleks dan saya merasa sulit untuk tidak terbawa arus dalam curhatan-curhatan teman saya. Tugas mendengarkan sungguh ternyata lebih sulit karena seorang yang mendengarkan harus mampu mengontrol dirinya dari apa yang didengarkannya agar ia tidak terganggu secara berlebihan baik secara emosi maupun pikiran namun harus tetap mampu mengetahui apa yang mungkin dirasakan dan dipikirkan oleh orang yang berbicara. Jujur saja, jika hal-hal yang saya alami terjadi dalam praktik konseling seorang psikolog profesional alamat kacaulah proses konselingnya. Alih-alih dapat merefresh pemikirannya, sang klien malah keluar dari ruangan konseling dengan beban 2 kali lipat beratnya beban yang dibawanya masuk
Celakanya.. kemudian sering kali saya (kita) tidak sadar bahwa persepsi kita tentang seseorang cendrung berubah atau malah kita bangun berkat omongan seseorang. Omongan ini biasa berkamuflase dalam bentuk curhatan yang kita dengar. Dan pastinya sering tidak menyadari bahwa kita telah mendzolimi seseorang dengan pikiran kita yang sebenarnya tidak punya bukti yang kuat. Ini cukup sering terjadi pada diri saya, entah pada orang lain, ketika teman-teman saya bercerita tentang pengalamannya yang tidak menyenangkan dengan orang lain. Dan tidak tertutup kemungkinan akan membangun batas jika orang lain tersebut kebetulan dikenal.
Menjadi seorang pendengar tentu harus memiliki kebijaksanaan namun sebagai seorang penceritapun barang tentu kita butuh untuk bermawas diri agar tidak merusak hati dan citra orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar